Oleh: HERIKSON ROSXLI
TABLOIDTIRAI.COM - Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang kemudian berubah fungsi menjadi kawasan TNTN pada tahun 2004, sesuai Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.255/Menhut-II/2004 dengan luas awal lebih kurang 38.576 Ha. Seiring berjalannya waktu, pemerintah Indonesia dimasa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menambah perluasan kawasan TNTN yang berlokasi di Kab. Pelalawan, Prov. Riau itu. Paska terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.663/Menhut-II/2009 pada 15 Oktober 2009 lalu, maka total luas kawasan hutan konservasi TNTN menjadi 81.793 Ha.
Mirisnya, dari total luas keseluruhan 81.793 Ha, lebih kurang 40.000 Ha telah dirambah dan disulap menjadi kebun sawit ilegal oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Lebih jauh, berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan, ada lebih dari 15.000 jiwa masyarakat yang bermukim di kawasan TNTN yang sebagian besar merupakan pendatang dari luar Prov. Riau, sementara penduduk asli hanya berkisar 10%. Tidak hanya rumah dan pondokan, bahkan sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, jaringan listrik, dan lainnya telah terbangun apik dan dijadikan sarana penunjang kehidupan bagi masyarakat yang bermukim.
Belakangan, ribuan masyarakat yang mengaku gabungan dari masyarakat dan mahasiswa Pelalawan menggelar aksi unjuk rasa di kantor Gubernur Riau, kota Pekanbaru, tepatnya pada 18 Juni 2025 lalu. Aksi tersebut pecah paska terbitnya instruksi Relokasi Mandiri yang disampaikan oleh Satgas PKH usai melakukan penyitaan lahan kawasan hutan konservasi TNTN. Masyarakat yang bermukim di kawasan TNTN, diminta melakukan relokasi mandiri dan diberi waktu tiga bulan (22 Mei-22 Agustus 2025) untuk mengosongkan kawasan TNTN. Terkait keberadaan kebun sawit milik masyarakat, masih diberikan waktu untuk memanen hasilnya hingga 22 Agustus 2025, dengan catatan khusus bagi sawit berusia lebih dari 5 tahun. Sedangkan untuk sawit yang berusia di bawah 5 tahun, akan dimusnahkan dan diganti dengan tanaman hutan sebagai bagian dari proses restorasi / pemulihan fungsi kawasan hutan TNTN. Upaya tersebut dinilai sebagai langkah strategis pemerintah pusat dalam mengembalikan fungsi TNTN sebagai kawasan konservasi hayati. Selain untuk memulihkan kerusakan lingkungan, penertiban itu juga menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang berusaha merusak kawasan hutan Negara.
Dalam aksinya, ribuan masyarakat dan mahasiswa yang menggelar demonstrasi dengan tegas menolak untuk dilakukan relokasi mandiri dan mendesak Gubernur Riau Abdul Wahid memfasilitasi perwakilan massa aksi untuk bertemu dengan pemerintah pusat. Meski sebagian besar tokoh masyarakat dan ketua-ketua organisasi mahasiswa Pelalawan menolak dan menyatakan tidak tergabung dalam aksi demo tersebut, namun aksi tersebut cukup menarik perhatian publik dan menjadi sorotan banyak media Nasional.
Penulis berpendapat, penolakan sebagian masyarakat terhadap upaya relokasi dari kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan mencerminkan persoalan struktural yang telah berlangsung lama dan kompleks. Di satu sisi, kita pasti sepakat bahwa TNTN adalah kawasan konservasi yang secara hukum harus dijaga dari aktivitas yang merusak. Namun di sisi lain, kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ribuan masyarakat telah bertahun-tahun tinggal, bertani, dan menggantungkan hidup di sana. Pelestarian lingkungan dan hak masyarakat untuk hidup layak tidak harus saling meniadakan. Relokasi harus menjadi jalan terakhir, dan jika memang harus dilakukan, maka wajib disertai dengan jaminan kepastian tempat tinggal, mata pencaharian baru, serta perlindungan hukum bagi warga terdampak.
Negara hadir bukan hanya untuk menertibkan, tetapi juga untuk melindungi rakyatnya — terutama mereka yang paling rentan. Terpenting, pemerintah pusat dalam hal ini diwakili oleh Satgas PKH harus mengusut semua pihak yang terlibat atas kerusakan TNTN. Bukan hanya cukong/mafia/perambah semata, penulis berpandangan keberanian masyarakat bermukim, terbitnya administrasi lahan, termasuk administrasi kependudukan, dan fasilitas umum di kawasan TNTN, secara tidak langsung mempertegas 'pengakuan' pejabat berwenang atas aktivitas yang disebut-sebut ilegal. Mungkinkah permasalahan ini salah satu bentuk dosa pejabat berwenang di pemerintahan yang lalu-lalu ?
Wallaahu a'lam bisshowaab, Tuhan yang maha Esa dan para pembaca yang budiman yang lebih tahu.
Penulis merupakan aktivis Komunitas Pecinta Alam Riau (KOPARI) dan Wakil Sekretaris Serikat Perusahaan Pers (SPS) Provinsi Riau.
#TNTN #Satgas PKH #KOPARI #Relokasi Mandiri