TABLOIDTIRAI.COM - Lembaga finance atau pembiayaan leasing seyogyanya hadir untuk membantu urusan masyarakat yang sedang dalam kesulitan. Hal itu lumrah, dan sering menjadi 'kalimat sakti' yang memiliki daya tarik tersendiri untuk memikat hati calon nasabahnya. Namun faktanya, tak sedikit masyarakat justru merasa terjebak dan terdzolimi oleh kelakuan leasing-leasing Nakal yang belakangan ini banyak muncul dalam pemberitaan.
Termasuk yang dialami oleh HW, nasabah Astra Credit Companies (ACC) Pekanbaru yang mengaku telah didzolimi oleh Debt Collector (DC) diduga atas kuasa ACC Pekanbaru. Yang mana, mobil milik HW jenis Toyota Raize dengan Nopol BM 1009 TF diduga telah dirampas oleh pihak ACC Pekanbaru dengan dalih menunggak 2 bulan dan dipaksa menanda tangani surat penyerahan unit (mobil HW-red) dan surat persetujuan lelang.
HW mengisahkan, kejadian itu berawal dari uang Rp. 100 juta yang ia pinjam dari ACC Pekanbaru dengan agunan BPKB Mobil miliknya tenor selama 48 bulan. "Saya bayar lancar dan sudah berjalan 9 bulan. Karena orang tua saya terkena stroke (Sakit-red) pembayaran terpending hingga menunggak selama 2 bulan. Hanya karena orang tua saya sakit, dan bukan di sengaja, karena sebelumnya pembayaran saya lancar saja. Namun mereka menjebak saya, menarik unit sepihak di kantor mereka dan memaksa saya menanda tangani surat penyerahan unit dan persetujuan lelang. Karena pada saat itu saya dianggap tidak bersedia membayar, padahal uang untuk tunggakan 2 bulan sudah saya siapkan" terangnya, Selasa (23/4).
Jadi, pada tanggal 18 April 2024 HW dihubungi pihak ACC Pekanbaru agar datang ke Kantor untuk menyelesaikan masalah tunggakan. Di tanggal 19 April 2024 ia bersama saksi YUS mendatangi kantor ACC Pekanbaru untuk menyelesaikan tunggakan.
"Saya sempat nego agar dibayar 1 bulan dulu, namun pihak ACC Pekanbaru menolak dan malah meminta dibayar lunas atau mobil dilelang saja. Disitu saya diarahkan ke dalam ruangan untuk bertemu saudara Agung dan memaksa saya menandatangani surat penyerahan unit dan persetujuan lelang. Dan saya tentu saya menolak dan berupaya keluar guna melengkapi kekurangan biaya yang 1 bulan lagi. Singkatnya, paska berdebat dengan 3-4 orang DC yang berupaya merampas kunci mobil saya, setelah saya dapat uangnya full (untuk tunggakan 2 bulan-red) dan kembali ke kantor ACC, mobil saya sudah tidak terlihat di parkiran kantor ACC. Saat saya masuk ke dalam dan hendak menyelesaikan tagihan yang 2 bulan, mereka (pihak ACC Pekanbaru-red) menolak dengan berbagai alasan dan mengatakan mobil ditahan dulu" ungkap HW.
Sementara itu pihak leasing ACC Pekanbaru yang beralamat di Jln A. Yani setelah didatangi awak media ke kantornya untuk dikonfirmasi, mereka tampak tak ada niat baik untuk mengembalikan mobil HW. Mereka mengatakan jalan satu satunya mobil harus dilelang.
Atas peristiwa itu HW akan melaporkan pihak ACC Pekanbaru ke Polda Riau atas dugaan perampasan mobil dan menggugat secara perdata ke BPSK karena banyaknya kejanggalan-kejanggalan seperti yang dijelaskan diatas.
Di tempat yang sama, kuasa hukum HW Soni, SH. MH menegaskan berdasarkan fakta tersebut diatas itu termasuk Perbuatan melawan hukum.
Soni menjelaskan pada tahun 2019 keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dengan harapan terjadi keseragaman pemahaman terkait eksekusi jaminan fidusia pada umumnya dan khususnya penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah, dengan amar putusan sebagai berikut:
Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
“Untuk melakukan penarikan atau eksekusi pihak Kreditur harus mengajukan permohonan eksekusi melalui lembaga Pengadilan Negeri dimana ditanda tangani kesepakatan perjanjian kredit fiducia atau setidak tidaknya melakukan upaya gugatan melalui pengadilan untuk menyatakan debitur telah cedera janji,” jelas Soni.
Lanjut Soni, apabila kreditur melakukan upaya eksekusi sepihak dengan cara paksa maka perbuatan kreditur adalah perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada debiturnya dimana kreditur dapat digugat ke pengadilan untuk mengganti kerugian debiturnya karena mengenai parate eksekusi sudah ada regulasi nya dan ada mekanisme yang mengatur mengenai tata cara melakukan eksekusi terhadab debitur, yaitu tetap melalaui pengadilan negeri dimana dibuat kesepakatan dan dimana didaftarkan fiducia terhadap jaminan kredit. (Red)
#ACC Pekanbaru #Awas Leasing Dzolim #Leasing Nakal #Korban Leasing #Korban ACC Pekanbaru